Pada
jemari yang lemah namun tetap kuat mengenggam, terima kasihku, tuan.
Kautahu, bagaimana aku melipat banyak cemas dalam tiap ruas, menjadikan
jemariku mudah terlepas —dan sebanyak itupun kaumenariknya lebih keras.
Sebab kaupercaya, di tiap ruas jemari kita terpintal banyak doa; yang
menginginkan tak lebih dari sebuah kita. Waktu pernah membalur kita
dengan tanda tanya; menjadikan kita babak belur dan menganggap sudah,
melepas genggaman sebab peluh lebih berkuasa. Barangkali, Tuhan sedang
tidak bercanda, memberi jeda pada genggaman —agar kita mudah membasuh
masing-masing dada, dengan banyak doa dan percaya. Di sini, ketika
jemarimu kembali menggenapkan, mari kuatkan kaki untuk tetap melangkah,
menyusuri malam tanpa kata jika; sebab hanya ada semoga yang tak ingini
mati, akan jemari-jemari yang patah. Terima kasih, sayang. Untuk lelah
yang kita peluk bersama; untuk percaya jeda tak pernah salah dan mudah;
untuk tetap mengingatkan, mengapa kita seharusnya ada